Jumat, 17 Oktober 2008

KEKUATAN SPIRITUAL

Pada tanggal 16 Januari 2002, Kapten pilot Abdul Rozak bertugas untuk menerbangkan pesawat Boeing 737-300 dengan nomor flight GA 421 rute pelabuhan udara Selaparang, Lombok menuju pelabuhan udara Adi Sucipto, Yogyakarta. Cuaca saat itu normal, dan pesawat telah mencapai ketinggian 31.000 kaki.
Di atas kota Blora, pesawat yang dikemudikannya tiba-tiba masuk ke dalam awan Comunilimbus, sejenis awan tebal yang berbahaya. Nampaknya Kapten Abdul Rozak tidak dapat menghindarinya dan saat nitu tidak ada alternative lain kecuali menembus awan tersebut.
Tiba-tiba kedua mesin pesawat Boeing 737, nomor seri 300 itu mati pada ketinggian 23.000 feet. Sesuai dengan prosedur, maka Kapten Abdul Rozak segera menghidupkan generator untuk menghidupkan kembali mesin yang mati itu. Namun yang terjadi justru electricity power rusak. Artinya, kedua mesin yang berjumlah dua buah itu dalam keadaan mati semua. Kapten itu segera melakukan wind mailing, yaitu mencoba memutar kembali propeller mesin dengan dorongan udara, kira-kira seperti mendorong mobil mogok, yaitu dengan meluncurkan pesawat ke bawah. Namun ternyata usaha itu pun tidak membawa hasil. Electrical power mati, keadaan dalam pesawat menjadi gelap. Sementara pesawat terus turun dari 23.000 feet hingga ke 8000 feet. Saat itu terbayang di benaknya nasib para penumpang yang berada di belakang cockpit, yang tidak mengetahui apa yang terjadi secara pasti. Ia mulai panik. Semua prosedur penerbangan sudah dijalankannya, tetapi tidak membantunya sama sekali. Pada saat itulah ia pasrah. Ia mengirim pesan, “Mayday…mayday!” berulang kali, namun tidak ada jawaban, akhirnya ia pasrah. Ia hanya berdoa memohon bantuan Tuhan dan menyerahkan sepenuhnya, nasib dirinya dan nasib para awak penumpangnya kepada Allah. Rozak berteriak, “Allahu-Akbar!” tiga kali.
Dan pesawat itu tiba-tiba keluar dari awan, hingga ia bisa melihat dengan indera matanya secara jelas semua yang terhampar di hadapannya. Kini ia harus mendaratkan secara cermat peswat besi seberat 62 ton lebih itu dengan mesin dalam keadaan mati, dan di dalamnya terdapat puluhan penumpang tidak berdaya.
Terlihat dengan jelas di hadapannya sebuah sawah dan sebuah sungai. Ia harus membuat keputusan dengan cepat dan tepat. “Mendarat di sawah yang nampak terlihat rata atau mendarat di sungai bengawan Solo dengan sebuah jembatan melintang di depannya?” Apabila salah mengambil keputusan maka akan berakibat fatal, yaitu kematian dirinya dan kemungkinan seluruh penumpang.
Kapten Abdul Rozak segera melakukan diskusi dan argumentasi dengan co-pilot, dan akhirnya diambil keputusan dramatis. Pesawat akan mendarat secara darurat di sungai. Dan menjadikan sungai Bengawan Solo yang cukup dalam itu sebagai run way.
Keputusan telah dibuat, dan pesawat Boeing itu akhirnya melakukan “descend” atau turun dari sebuah ketinggian dan melakukan approach mendekati “landasan pacu” dan siap untuk landing di atas sungai Bengawan Solo! Ternyata, saat mendekati “landasan pacu”, menghadang sebuah jembatan besi. Rozak terpaksa berputar kembali agar dapat mendarat dengan melewati jembatan besi itu. Dengan mesin mati, atau tanpa tenaga pendorong, pesawat itu meluncur dan subhanallah…ternyata berhasil.
Dan pesawat landing! Namun tak jauh di depannya menghadang lagi jembatan besi beton kedua, yang siap melumat pesawat apabila menabraknya. Namun tidak disangka-sangka, tiba-tiba pesawat itu menabrak batu hingga bagian belakangnya sobek, dan pada saat itukah salah seorang pramugari meninggal, karena tersedot keluar. Pesawat itu kemudian mendadak berbelok ke sebelah kanan ke tempat yang lebih dangkal. Bayangkan kalau pesawat itu meluncur terus dan tidak berbelok ke kanan, tidak mustahi pesawat itu akan menabrak jembatan dan tenggelam di tengah Sungai Bengawan Solo yang dalam.
Pesawat akhirnya berhenti dengan selamat di sisi kanan sungai pada tempat yang dangkal, padahal di sekitarnya kedalaman + 10 meter. Seluruh penumpang bisa keluar dari pintu pesawat. Kabin pesawat yang bertekanan udara demikian kuat itu, justru dengan cepat dapat dibuka karena lubang yang tercipta, akibat tabrakan batu besar tadi. Seluruh penumpang dapat diselamatkan, walau seorang pramugari urung terselamatkan. Di tempat itu ada sebuah rumah kosong dan sebuah mobil, sehingga para penumpang bisa segera dievakuasi, Subhanallah! (Dikutib dari Buku ESQ: Ari Ginanjar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar